Wednesday, March 1, 2017

Kisah SM-3T: Pulau Seribu Pompong




Deruan gemuruh suara Feri pak Bujang memecah keheningan di kala itu. Semua penumpang bergantian menggapai bibir pelabuhan. Malam itu 20 Agustus 2015, pertama kali aku menapakkan kaki di pulau Mengkait. Inilah pulau yang dikata orang lain dari pada pulau yang lain. Aku menarik koper dan sambil menggendong ransel melewati gang-gang sempit di celah-celah rumah warga.

Langkahku terhenti ketika salah seorang penumpang tadi mengajakku untuk singgah di rumahnya. Akupun bergegas memasukan koper dan tasku ke rumah singgah. Setelah aku pahami itu rupanya deretan rumah dinas guru, satu deret berisikan tiga sekat ruang. Dengan satu sekat ukuran 4m x 9m kebelakang. “Kenalkan pak, nama saya Toni, saya salah satu guru di SD ini” kata penumpang tadi. Dengan cekatan aku menyulurkan tanganku seraya memperkenalkan namaku.

“Ayok pak kita ke warung depan, cari minum dan makanan” kata pak Toni. Aku pun langsung mengiyakan ajakan pak toni, dan kami bergegas menuju warung yang tidak jauh dari rumah dinas pak Toni. Sesampainya di sana terasa sedikit canggung sih, tapi ya mungkin wajar saja ini kan malam pertamaku di pulau ini. “Oh ini guru SM-3T yang baru ya?” tanya pemelik warung. “Iya bu betul sekali” jawabku sambil tersenyum. “Anggap saja rumah ibu ini rumah sendiri, sering-seringlah main kemari, yang dulu pun sering main kemari kok, kebetulan anak ibu guru juga di SD itu”kata ibu pemilik warung. “Iya bu, nanti saya akan sering main kemari”, jawabku sambil tersenyum.

Pemilik warung tadi membawakanku seduhan Pop Mie dan sebungkus Roti nanas, “Tolong pak ini dimakan, namanya siapa ya pak?” kata ibu pemilik warung. “Terimakasih, Andi bu nama saya” jawabku sedikit lirih. “Owalah kok seperti nama anak ibu ya, kalau anak ibu namanya Andika” kata ibu tadi sambil tertawa kecil. Aku hanya tertsenyum mungil tanpa megungkapkan sepatah katapun. Sebungkus roti dan semangkuk Pop Mie di hadapanku perlahan aku lahap. Perbincangan malam itupun berlangsung hingga kurang lebih satu jam, Kemudian aku memutuskan untuk kembali kerumah dinas pak Toni.

Malam itu di pulau Mengkait hawa agak terasa panas, akupun duduk di teras sambil memandangi langit berbintang kala itu. Tak lama berselang pintu deret rumah sebelah kiri terdengar terbuka. Hadir sepasang suami-istri mendekatiku dan mulai menyapaku. Mereka guru yang sudah hampir 4 tahun bertugas di Mengakait. Asal muasalnya dari Medan yang bernama Riris Gultom dengan status PTT dan suaminya yang bernama Santar yang merupakan guru PNS yang bertugas di SMP Negeri 2 Mengkait

Jarum jam sudah menunjukan pukul 01.00 malam, tapi mataku enggan untuk terpejam. Karena di dalam rumah pak Toni hawa panas terasa sekali, maka aku memutuskan untuk tiduran di teras dengan beralaskan meja lumayan panjang yang tersedia di teras tersebut. Udara di teras agak sepoi-sepoi membuat mata perlahan mulai menutup dan tak lama kemudian aku mulai tertidur.

Kokok ayam berbunyi silih berganti, hinga aku terjaga dari tidur lelapku. Akupun langsung menuju bak mandi pak Toni untuk cuci muka. Betapa terkejutnya ketika aku membuka pintu belakang rumah pak Toni yang bersentuhan langsung dengan pemakaman warga, perasaan parnopun menghinggapi pikiranku. Makam kalau di daerahku masih terlihat sakral karena tempatnya yang khusus atau jauh dari pemukiman warga. Namun berbeda dengan di pulau Mengkait, makam berserakan di mana-mana, maklum saja pulau ini hanya memiliki luas kira-kira 8 Ha, dengan jumlah penduduk kira-kira 1200 jiwa. Pulau Mengkait disebut pulau seribu pompong, karena di pulau ini terdapat pompong-pompong nelayan yang bersandar di sekitaran pelabuhan yang jumlahnya sangat banyak dan paling banyak dibandingkan dengan desa-desa yang lainya di seluruh Kab. Kep, Anambas.

Ulangan Bahasa Indonesia

Petunjuk kerja: 1. Siapkan diri Anda untuk mengikuti ulangan. 2. Dilarang menyontek jawaban peserta lain. 3.  Dilarang membuat keribut...